Rabu, 04 September 2013
Tinta Terakhir
Juliana Simamora
Saat ini aku akan pergi, relakan aku melepaskanmu dari ketiga jariku, jangan marah jika kita harus berpisah. Mungkin inilah yang terbaik, inilah jalan dan takdirku. Semua kulakukan demi masa depan adik-adikku. Aku memang sangat mencintaimu, aku sayang kamu dan selamanya engkau dambaan hatiku. Kesetianku tidak akan pernah terpungkiri oleh siapapun juga. Jika saja, ada jalan lain, ini semua akan aku lawan dan tidak akan terjadi.
Jangan pernah menganggap cintaku padamu semu atau hanya bayang-bayang dan bahkan sandiwara belaka. Jika engkau bercerita demikian itu adalah palsu dan buta. Rasa cinta yang tak ada duanya sejak pertama aku mengenalmu sungguh tak akan pernah pudar.dan bahkan selalu menggebu-gebu dalam batinku. Ikatan tali cinta telah terjadin kuat antara aku dan kau. Saat aku harus pergi rasa itu semakin menggebu-gebu, melepasmu adalah hal terbodoh yang pernah dilakukan orang yang masih mampu pertahankan jalinan kasih antara engkau dengan jari mereka. Tetapi apa daya. Rasa sayang aku terhadapmu tak bisa rubah takdir. Ini sudah tersurat. Mungkin mereka bisa hentikan tetapi tidak denganku.
“Ma, apakah tidak ada jalan lain, selain ini ?, apa ini jalan satu-satunya Ma”
“ Maafkan Mama, sayang. Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Mama terlalu lemah menghapi ini semua. Maafkan Mama” sambil memeluk Fitri yang masih tertunduk.
Aku tak ingin seperti ini, mungkin selama ini aku berpikir kalau aku bisa menyelesaikan sekolahku dan bisa bahagiakan Mama dan Papa. Cita-citaku untuk mengencangkan kulit Mama dan Papa yang telah keriput olehku itulah yang terbaik. Perpisahanku denganmu sungguh membuat semua kelam. Semua menjadi semu, kalau mereka bilang sandiwara cinta, aku bilang sandiwara takdir. Selama ini semua seakan berjalan mulus dan datar. Tetapi sekarang bengkok dan bergelombang.
Ketika aku bersamamu, mungkin aku berpikir mereka bekerja demi sesuap nasi, mereka bekerja demi sebongkah berlian. Namun, aku masih mencari cara bagaimana aku bisa mengumpulkan bongkahan dan kepingan emas, bukan untuk mencari sesuap nasi. Tetapi kini ku terlalu lemah untuk hal itu. Jangankan mengumpulkan bongkahan berlian dan kepingan emas. Untuk mencari sesuap nasi saja aku masih ragu. Mampukah ? atau aku akan keroncongan dan mati kelaparan. Sungguh hishteris dan membutakan pikiranku. Perpisahanku denganmu menyiksa batin dan jiwaku.
Aku menatap awan yang kian bertambah kelam. Aku berpikir itu adalah hidupku. Namun, aku juga berpikir kalau esok kan ada terang.
Perlahan Aku bangkit dari anganku, aku mencoba mencari jawabanya. Aku bagnkit dan cari jalan keluar.
“selamat tinggal sahabatku, jariku dan engkau tidak mungkin bersatu lagi. Engkau tidak akan menari lagi di atas kertas putihku, tetapi engkau akan tetap di hatiku. Seragam-seragam yang senantiasa bermain bersamamu akan ku simpan dan kujadikan kenangan terindah dalam hidupku. Engkau modal utamaku membuka jendela masa depanku. Meski kini, aku tak selalu bersamamu, tetapi ku yakin persahabatan kita selama ini berarti bagiku” aku menuliskan pesan dan kebersamaan terakhir itu bersama sahabatku.
Aku tidak sadar kalau ibu masih di sampingku, aku menangis dan merebahkan tubuhku di pangkuan Mama.
“Ma, besok aku akan pergi,,, “ aku meneteskan air mata.
“ Ya sayang, , , maafin Mama Ya. Mama sayang kamu” Mama mencium keningku.
“ Ya Ma, aku juga sayang Mama” aku memeluk tubuh mama.
Hari berganti hari, aku memulai hidupku yang baru tanpa seragam dan tinta-tinta hiasku. Tetapi kini aku mengenakan dinas bebas, dengan penampilan yang lebih menarik. Dimana aku bisa masuk atau tidak. Tempatku bersandar juga tak lagi papan berukuran 30 cm, kini aku bersandar di busa. Tinta terakhirku tak membuatku patah semangat, tinta terakhirku semangatku. Dan aku yakin kehidupan pasti brputar bagai roda. Jariku kembali menari-nari denganmu di kertas yang sama.
Langganan:
Komentar (Atom)